Bab 2037 Mainan
Selesai membicarakan ini, Paman Joshua kembali menanyakan sebuah pertanyaan, seperti yang dikatakan Bibi Lauren, yaitu membiarkan Dewi mempelajari ilmu ekstrak racun dan senjata untuk pertahanan diri, selama mereka berdua masih bisa bergerak, mereka dapat membantunya.
Jika tidak, saat ia nanti bertemu dengan bahaya, bahkan kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri saja, ia tidak punya.
Dewi dulu berpegang teguh pada ajaran Tabib Hansen untuk tidak mempelajari ilmu ekstrak racun, namun setelah dipikir–pikir lagi sekarang, ia tidak peduli lagi.
Yang diajarkan Tabib Hansen, jangan turun bukit, jangan belajar ilmu ekstrak racun, ia sama sekali tidak mendengarkannya….
Kini bahkan menyembuhkan penyakit anggota kerajaan saja sudah ia langgar, takut apalagi?
Berpikir sampai disini, Dewi menyetujuinya, “Setelah selesai dengan operasi Lessi, aku akan bersiap–siap….”
“Oke.” Paman Joshua menganggukkan kepala dengan lega, lalu mengeluarkan sebuah tas kulit dari lemari dan memberikannya pada Dewi, “Aku menemukan tas kesayanganmu.”
“Kamu sudah menemukannya?”
Dewi sangat gembira, ia mengambil tas itu dengan terburu–buru, membukanya, di dalamnya ada sebuah pisau dapur yang besar….
Ini adalah satu–satunya benda yang ia bawa dari Bukit Oldish.
Di atas pisau terukir nama Dewi, dari situlah namanya berasal.
Saat ia masih kecil, ia sering mengumpulkan tanaman obat di atas bukit, Tabib Hansen memberikan pisau ini sebagai alat perlindungan diri, ia berkata jika ada binatang buas, ia dapat menggunakan pisau ini untuk melawan mereka.
Namun, Dewi mampu mengendalikan binatang buas, ia sama sekali tidak memerlukan pisau ini, akhirnya ia menggunakan pisau ini untuk menebang pohon, duri bahkan batu yang menghalangi jalannya, sangat berguna!
Anak–anak bukit tidak memiliki mainan apa pun, ini adalah satu–satunya mainan yang ia miliki!
Jadi, ke mana pun ia pergi, ia akan selalu membawa pisau ini…..
Setelah pindah rumah beberapa bulan lalu, pisau ini dijadikan mainan oleh anak–anak panti, bagaimanapun ia mencarinya, ia sama sekali tidak dapat menemukannya, tak disangka Paman Joshua dapat menemukannya kembali.
“Senang?” Bibi Lauren menatap Dewi seperti menatap anak kecil, “Mainannya sudah ketemu
lagi.”
“Haha, senang!” Dewi berkata sambil tersenyum manis, “Melihat ini seperti sedang melihat Tabib Hansen!”
Saat ia melihat pisau ini, ia bisa mengingat apa yang dikatakan Tabib Hansen….
“Dewi, kamu adalah anak keberuntungan yang merupakan gabungan dari inti langit dan bumi, kamu adalah utusan Tuhan, tidak ada satu pun yang dapat menghentikanmu, kamu harus semangat, guru akan melindungimu dari belakang!”
Jadi, setiap kali ia menemui kesulitan, ia dapat membayangkan Tabib Hansen berada di belakangnya, kemudian muncul kekuatan yang tidak terbatas di dalam hatinya…
“Baiklah, hari ini cukup sampai di sini, kembali dan beristirahatlah.”
Paman Joshua menepuk–nepuk tangannya, pertanda rapat selesai.
Bibi Lauren dan Paman Joshua masih melakukan perhitungan, Brandon pergi ke tempat Dewi untuk mengambil perhiasan, besok ia akan menukar perhiasan itu dengan uang tunai, mempersiapkan dana untuk perputaran panti asuhan.
Keduanya naik ke lantai atas bersama, Brandon tiba–tiba bertanya, “Itu menghubungimu?”
“Aku sudah memblokir nomornya.”
apa Lorenzo tidak
Dewi teringat sebelumnya Lorenzo pernah memblokir nomornya, hatinya penuh dengan kemarahan.
Awalnya, ia hendak mematikan ponsel untuk memutus hubungan, namun saat ia teringat bahwa Brandon dan Bibi Lauren sewaktu–waktu bisa menghubunginya, maka ia tidak mematikan. ponselnya, ia langsung memblokir nomor Lorenzo.
Lorenzo juga menggunakan ponsel Jasper untuk menghubunginya, ia juga memblokir nomor Jasper.
Ia juga langsung menolak panggilan dari nomor–nomor asing.
Oleh sebab itu, ponselnya baru bisa senyap seperti ini.
“Uhuk, uhuk….” Brandon menutup mulutnya dan batuk beberapa kali, ragu–ragu untuk mengatakan sesuatu.
“Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Dewi.
“Mereka menghubungiku.” Brandon berkata dengan lemah, “Mereka tanya apa kamu dalam kondisi aman, aku menjawabnya dengan singkat, mereka lalu mematikan teleponnya.”
“Siapa yang telepon? Lorenzo?” Dewi bertanya terburu–buru.
“Bukan, bawahannya.” Brandon menyipitkan matanya dan berkata, “Suaranya agak rendah, meskipun ia tidak banyak berkata, tapi aku merasakan setiap kata–katanya seperti sedang mengancamku.”
“Apa itu Jasper?” dalam sekali dengar, Dewi sudah tahu siapa itu.
“Betul, dia.” Brandon langsung berkata, “Pertama kali dia langsung mengucapkan namanya, sungguh angkuh.”
“Jangan hiraukan dia.”
Hati Dewi tidak nyaman, Lorenzo benar–benar tidak menelepon secara pribadi untuk memberikan penjelasan, tampaknya dia sama sekali tidak peduli lagi dengannya.