Bab 2015 Tidak Mahir
Setelah mengakhiri panggilan, Dewi masih memikirkan perkataan Bibi Lauren. Kalau Organisasi Dark Night membantu Denny balas dendam, dirinya sungguh tak akan bisa kabur.
Organisasi Dark Night memiliki kekuasaan yang sangat besar, tersebar di seluruh negara. Anggotanya juga tak terhitung jumlahnya, rela mati demi organisasi itu. Setiap dari mereka adalah talenta hebat, memiliki berbagai macam keahlian.
Menghadapi Denny seorang saja, Dewi sudah kesulitan. Kalau bertambah beberapa orang lagi, dia akan repot.
Sudahlah jika dirinya sendiri yang kesulitan, tapi tidak boleh melibatkan Bibi Lauren dan anak- anak di panti asuhan.
Memikirkan hal ini, suasana hati Dewi pun menjadi muram. Beberapa hari ini hanya memikirkan persoalan asmara, lupa memikirkan hal sepenting ini.
Dia harus cepat memulihkan kesehatannya, lalu kembali ke Swedoland.
Malam ini Dewi tidur dengan tidak tenang, terus–menerus bermimpi buruk.
Pagi–pagi saat bangun, dia sudah berkeringat. Di luar jendela, cahaya matahari masih belum terlalu terik, sepertinya belum pukul 7.
Namun, dia sudah tidak bisa tidur lagi. Pagi ini Lorenzo mau pergi. Dewi pun mau menemaninya
sarapan.
Baru saja dia ingin turun dari ranjang, terdengar suara Kelly dari luar, “Nona Dewi, apa sudah bangun?”
“Sudah, masuklah,” jawab Dewi.
Kelly membawa dua pelayan wanita masuk, membantu Dewi mandi dan berpakaian, lalu memapahnya turun ke bawah untuk sarapan.
Lorenzo sudah duduk di ruang makan, ada kopi hitam di depannya dan tangannya memegang koran. Namun, dia malah sedang menerima telepon menggunakan earphonebluetooth, sambil menjawab dengan bahasa Emron.
Dewi tidak mengerti, maka bertanya pada Kelly, “Apa yang dia katakan?”
“Sepertinya itu telepon dari Presiden, bertanya kapan Tuan kembali. Tuan bilang mau pergi ke Negara Maple dulu….”
Kelly menerjemahkan dengan suara kecil.
“Hm.” Dewi tidak bicara apa–apa, tapi dia mengerti bahwa seharusnya kali ini Lorenzo menghadapi masalah besar.
1/2
10:56 Tue, 6 Jun M.
Bab 2015 Tidak Mahir
88
10 mutiara
Saat Dewi masuk ke ruang makan, Lorenzo juga sudah selesai menelepon. Dia bangun dan menarik kursi untuk Dewi, lalu membuka serbet makan untuknya dan bertanya dengan lembut, “Apa kemarin malam kamu tidur nyenyak?”
“Lumayan.” Dewi menyadari Lorenzo memegang paspornya, mobil sudah siap di luar, dan bawahannya memasukkan koper ke mobil. Jelas dia bersiap untuk berangkat.
“Mau makan apa?” Lorenzo tetap tenang, bahkan mengambilkan makanan untuk Dewi.
“Apa kamu sudah mau berangkat?” Dewi sedikit tidak rela.
“Tidak apa–apa, aku temani kamu sarapan.” Lorenzo mengambil segelas susu hangat untuk Dewi, “Saat aku tidak ada di rumah, kamu rawatlah kesehatanmu dengan baik. Setelah urusanku selesai, aku akan menjemputmu, lalu kita sama–sama kembali ke Negara Emron.”
“Ya.” Dewi berpikir seharusnya Lorenzo hanya sibuk beberapa hari, tidak akan terlalu lama. Jadi, dia berkata dengan pengertian, “Mereka sedang menunggumu. Kamu pergilah.”
“Kamu rela aku pergi?” Lorenzo mencubit pipi Dewi.
“Kenapa tidak rela?” Dewi berkata, “Kamu bukan tak akan kembali lagi.”
“Benar juga.” Lorenzo meletakkan alat makannya, lalu berdiri dan memakai jaket, “Kalau begitu, aku pergi dulu.”
“Ya.” Dewi menatapnya dengan tidak rela.
Jasper datang untuk membawa paspor dan ponsel Lorenzo. Setelah berpamitan dengan Dewi, dia pun keluar.
Kelly mau memapah Dewi, tapi dia malah bilang tidak perlu. Dia tidak suka perpisahan, maka biarkan Lorenzo pergi dengan tenang.
Sebelum naik ke mobil, Lorenzo menoleh dan melihat Dewi lewat jendela. Dirinya masih mengira wanita itu akan keluar mengantarnya dan memberikan ciuman perpisahan, tapi dia malah tidak berniat keluar.
Lorenzo sedikit sedih, dia pun naik ke mobil tanpa bicara apa–apa.
Saat mobil melaju pergi, Lorenzo masih melihat kaca spion. Dewi malah duduk di ruang makan dan makan dengan pelan, sepertinya tidak ada perubahan apa pun.
Lorenzo sedikit tidak senang, dia pun mendesah, “Wanita yang tak berperasaan!”
“Haha….” Jasper tertawa keras, “Menurutku, Nona Dewi cukup tidak rela. Mungkin karena tidak ada pengalaman, maka cara mengungkapkannya berbeda.”
“Haiz ….” Lorenzo menghela napas dalam–dalam. Dia merasa Dewi lebih membutuhkan pengalaman berpacaran daripada dia. Wanita itu sama sekali tidak mahir dalam hal ini.