2/2
Bab 2013 Tidur Di Kamar Tamu
Dewi bersantai di rumah seharian, begitu santai hingga hampir “berjamur“.
Sekarang dia tidak bisa melakukan apa pun, hanya bisa berbaring saja. Saat makan pun, harus dilayani oleh sekelompok orang.
Saat mau berjalan–jalan di pantai, dia harus dipapah oleh dua perawat dan diikuti sekelompok orang. Meski ini adalah pantai pribadi sehingga tidak ada orang lain, tapi dia merasa ini tidak ada
artinya.
Lebih baik tidak pergi saja.
Untungnya, waktu berlalu sangat cepat, dalam sekejap sudah malam.
Dewi berbaring sambil membaca buku medis, tapi matanya senantiasa menatap jam di dinding. Sudah pukul 9 malam, Lorenzo masih belum pulang. Selain itu, hari ini dia sama sekali tidak menelepon atau mengirim pesan.
Di Kota Bunaken, urusan apa yang dia punya hingga harus sibuk sampai sekarang?
Mungkinkah dia kembali ke Negara Emron?
Saat Dewi sedang berpikir, terdengar suara langkah kaki di luar, lalu para pelayan menyapa dengan hormat, “Tuan, Anda sudah pulang!”
**Ya.”
Belakangan ini, Lorenzo menjadi lebih manusiawi. Saat para pelayan menyapa, dia sudah mulai merespons. Dulu dia sangat dingin, sekujur tubuhnya memancarkan aura dingin, membuat semua orang takut padanya.
Namun, belakangan ini para pelayan diam–diam membahas bahwa Lorenzo berubah menjadi
lembut.
Mendengar suara di luar, Dewi langsung menurunkan bukunya dan pura–pura tidur.
Lorenzo membuka pintu, lalu melepas jaket luarnya dan melemparnya ke ranjang. Sambil membuka kancing kemejanya, dia berjalan ke arah Dewi.
Mendengar suara langkah kaki yang semakin dekat, hati Dewi sedikit gugup. Dia memeluk bantal dan lanjut pura–pura tidur.
Sisi ranjang di sebelahnya terbenam, dia bisa merasakan napas yang familier, juga tangan besar yang hangat sedang mengelus–elus pipinya.
Dewi sedikit gugup. Memikirkan ciuman kemarin malam, mungkinkah Lorenzo mau ….
Dewi masih belum bereaksi, Lorenzo sudah menurunkan tubuhnya dan mencium kening Dewi
1/3
dengan lembut, lalu turun mencium matanya.
Dewi memejamkan matanya rapat–rapat dan menahan napasnya, tidak berani bergerak sembarangan.
Dalam hati, dia sudah mempersiapkan diri. Kalau Lorenzo lanjut, dia tidak akan mendorong pria
itu.
Namun, ciuman Lorenzo berhenti di telinganya. Lorenzo menggigit daun telinganya, lalu berkata, “Jangan pura–pura tidur!”
Dewi ketahuan olehnya. Dengan wajah memerah, dia pun membuka mata, “Bagaimana kamu bisa tahu aku pura–pura tidur?”
“Hanya dengan lihat aktingmu!”
Lorenzo mencubit pipi Dewi dengan tatapan penuh kasih sayang.
“Hari ini kamu pergi ke mana?”
Dewi masuk ke pelukan Lorenzo, suaranya pun tanpa sadar berubah menjadi lembut.
“Mengurus beberapa hal.” Lorenzo menjawab dengan sederhana, “Besok pagi–pagi aku harus kembali ke Negara Maple.”
“Hah?” Dewi tertegun, “Kenapa?”
Dirinya baru saja masuk ke mode pacaran, Lorenzo malah mau pergi.
“Ada beberapa hal yang perlu kuurus.” Lorenzo tidak berpikir begitu banyak, “Sudah tertunda sangat lama, sekarang harus pergi mengurusnya.”
“Baiklah.” Dewi berkata dengan pengertian, “Kalau begitu, kamu uruslah dengan baik.”
“Ya, sungguh patuh!”
Lorenzo mencium kening Dewi, lalu bangun.
“Kamu mau ke mana?” Dewi langsung bertanya.
“Kenapa? Kamu ingin aku tetap di sini?” Lorenzo menatapnya dengan menahan tawa.
“Bukan.” Dengan wajah memerah, Dewi buru–buru membantah, “Aku hanya asal bertanya.”
”
“Aku mau ke ruang kerja.” Lorenzo mengganti baju, lalu pergi, “Cepat tidur. Besok kita sarapan
bersama.”
“Oh!”
Melihat Lorenzo pergi, Dewi merasa sangat sedih.
2/3
Dua hari ini tiba–tiba Lorenzo menjadi sibuk, besok masih harus kembali ke Negara Maple. Mengapa dia merasa bahwa sekarang pria itu tidak begitu antusias seperti dulu?
Dulu sesibuk apa pun, dia tetap akan tidur sambil memeluk dirinya. Sekarang malah berinisiatif tidur di kamar tamu.
Dewi membuka ponselnya, ingin mencari tahu tentang pengalaman berpacaran. Saat ini, tiba- tiba Bibi Lauren menelepon. Dia pun buru–buru menjawab, “Bibi Lauren!”
“Dewi, akhirnya Bibi bisa menghubungimu. Kamu sungguh membuat Bibi panik.”
“Lorenzo bilang dia sudah menyuruh orang untuk memberitahu kabarku pada Bibi. Aku berpikir setelah kondisiku lebih baik, baru menelepon Bibi.”
“Memang sudah diberi kabar, tapi setelah menghubungimu, Bibi baru tenang.” Bibi Lauren berkata dengan panik, “Kamu tidak apa–apa, ‘kan? Bagaimana perasaanmu? Apa operasinya
berhasil?”